Cerpen : Dunia Memang Selebar Daun Kelor

“ Kata-kata adalah serdadu, yang siap menyerang dan mematikan. Kata-kata adalah gerilya, pasukan bertopeng yang tak hentinya menyerbu ” demikian pak Iqbal Dewantoro pada akhir  sambutan singkatnya perayaan ulang tahunnya yang ke-68 yang diselenggarakan di rumahnya yang sangat asri di perumahan elite kota Bandung.  
”Kamu tidak pelu berlama-lama di sana, Ran. Setelah bertemu dan menyerahkan bingkisanku untuk pak Iqbal, kamu bisa segera meninggalkan rumahnya. Dia jurnalis senior yang sangat aku hormati. Sebenarnya mendapat undangan darinya sungguh suatu kehormatan bagiku, tapi  aku sudah terlanjur janji pada istriku untuk menghadiri pertemuan pemegang saham di perusahaannya. ”, Pak Yanto setengah memaksa, memintaku untuk mewakilinya. Yah, apa boleh buat, sebagai seorang sekretaris yang baik, akhirnya akupun terdampar di rumah ini, walaupun mood ku saat ini benar-benar sedang kacau.
***
Perasaanku pasti masih dipengaruhi kejadian tiga hari yang lalu  ketika Julian – cowok   yang selama setahun belakangan ini menjadi kekasihku – memutuskan hubungan kasih kami dengan alasan  diluar akal sehatku.
Julian yang selama ini memenuhi semua kriteria cowok idealku mengakui sesuatu yang membuatku terperanjat dan tidak habis pikir. Bagaimana tidak, pria bertubuh kekar dan atletis yang selama ini menemani hari-hariku, yang selalu menjadi pahlawan bagiku,  yang  selalu menyediakan waktu, tenaga dan perhatiannya untukku, yang senantiasa bersikap sopan, menjaga kehormatanku walaupun tidak seromantis pacar teman-temanku, mengakui bahwa sebenarnya dia adalah seorang gay alias penyuka sesama jenis. Sungguh pengakuan yang sulit kuterima tetapi itulah kenyataannya.  Mungkin terdengar klise kalau kukatakan bagaikan mendengar petir di siang bolong. Tiada hentinya kubertanya dalam hati, kenapa ini bisa terjadi. Padahal sudah kuserahkan bulat-bulat hatiku buatnya, bahkan kuimpikan suatu hari nanti kami akan hidup bahagia dalam satu bahtera rumah tangga.

“ Rani, apa yang telah kulakukan padamu selama ini, benar-benar tulus dari hatiku. Aku sungguh-sungguh menyayangimu. Aku berharap suatu hari aku dapat mencintaimu sebagai kekasih. Tapi, aku  tidak bisa menipu perasaanku sendiri. Hingga hari ini, aku masih belum bisa melepaskan bayangan mantan kekasihku. Seminggu yang lalu dia datang lagi dalam hidupku dan aku tidak mau kehilangan dia lagi.  Rani, kumohon pengertianmu,  lepaskanlah aku dari hidupmu karena kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku,” Katanya terakhir kali kami berbincang tiga hari yang lalu. Matanya menyiratkan penderitaan luar biasa. Marah dan kecewaku surut sesaat melihat betapa berat perjuangannya untuk menyatakan ini padaku. Akhirnya kami menangis berdua. “Sudahlah, kalau ini akan membuatmu bahagia, aku rela.” Sambil terisak aku melepasnya. Aku sangat mencintainya. Apapun yang membuatnya bahagia akan kulakukan walaupun hatiku hancur lebur.
***

“Kok melamun, non? What are you thinking  about?” sebuah suara mengejutkanku.  Yudhistira- putra semata wayang pak Iqbal sudah ada disampingku, menatapku dengan hangat. Tubuhnya yang tinggi, langsing dibalut kemeja putih yang digulung hingga sikut dan dipadu jeans belel plus sepatu kets warna putih memang sedap dipandang mata. Aku tersenyum.
“Daripada bengong, kita ke beranda yuk, ada capucino coffee dan snack di situ, “ katanya sambil menarik tanganku dengan sopan menuju bangku di berandanya yang asri. Aku menurut dan mengikutinya.
Kamipun segera terlibat perbincangan yang mengasyikkan. Yudhistira – yang baru saja menyelesaikan  Magister IT nya di Korea -  memang tidak hanya memiliki wajah tampan dan postur yang atletis, tetapi dia juga pintar dan berwawasan luas. Obrolan kami melompat dari satu topik ke topik yang lainnya sambil sesekali diselingi tawa seolah kami sudah lama saling mengenal.  


“Bandung sudah banyak berubah ya? Bandung makin ramai sekarang” katanya.
“Ya, gimana nggak makin ramai, tiap orang punya hand phone. Anak SD  aja sudah pintar mengirimkan pesan multimedia, browsing internet, chating,  bahkan membuat video dengan menggunakan hand phone” kataku.
“O, ya? Berarti, mobilisasi komunikasi orang Bandung udah makin hebat dong” Yudhistira menimpali.
“Hebatnya lagi, mobilisasi komunikasi meningkat, mobilisasi kejahatan komunikasi juga meningkat. Penipuan ribuan rupiah sampai ratusan juta rupiah sudah mampu dilakukan hanya  lewat teknologi komunikasi. “ kataku. Kamipun  tertawa lebar berdua.
Dia memang menyenangkan.
Di sela perbincangan kami,  seseorang datang menghampiri kami, berbisik padanya.
Yudhistira berkata “Rani, ada seseorang spesial yang datang, aku akan menemuinya dulu sebentar. Nanti aku kembali ke sini, akan kuperkenalkan padamu,” aku mengangguk, Yudhistira pun berlalu meninggalkanku.

***
Ah, ternyata dunia tak selebar daun kelor gumamku dalam hati. Ada benarnya  kalau menuruti peribahasa “mati satu tumbuh seribu”. Begitu banyak pria-pria menarik di dunia ini, kenapa aku hanya memikirkan Julian kalau ada orang selembut dan sebaik Yudhistira.
Untuk sementara aku bahagia bisa melupakan Julian. Detik berikutnya aku bersyukur mendapat tugas dari Pak Anto.

Kuseruput capucinoku, lalu kuambil satu buah pastel yang teronggok di piring saji. Kulirik jam tanganku, ups! Pukul  4 sore! Sejam lagi kantorku tutup, padahal note book dan beberapa perlengkapanku tertinggal di meja kerjaku. Kalau lebih dari pukul 5, kantor pasti sudah ditutup. Memaksa masuk berarti siap bertempur dengan Bang Ruben, satpam kantor yang galak itu.
Segera kuhabiskan pastelku. Tapi, baru saja aku hendak minum sisa capucinoku, terdengar suara Yudhistira, “Rani, perkenalkan ini teman spesialku…” aku menoleh dan… huk!! Aku terbatuk. Julian ada dihadapanku, lengan kirinya digamit oleh Yudi dengan mesra.
Astaga!! “Jadi, dia kekasihmu?” kataku setengah berbisik kepada Julian yang mukanya pucat karena tidak menyangka akan bertemu denganku di tempat ini.
“Lho, kalian sudah saling mengenal?” tanya Yudhistira.
“Ya, kami sudah mengenal,” kata Julian sambil mengulurkan tangan.
“A..aku permisi.. sudah sore.. Aku harus kembali ke kantor. Maaf, terimakasih..” kataku terbata-bata.
Kusalami keduanya dengan terburu-buru dan kutinggalkan mereka setengah berlari  menuju mobilku. Kubiarkan Yudhistira menatap kepergianku dengan tanda tanya.
Aku nyalakan mesin, kulaju Honda CRVku menuju Setiabudhi.
Oh, Tuhan.. Dunia memang hanya selebar daun kelor!! ~miracle~



Komentar